Saling menghargai……..

::::::Sebuah Tanggapan::::::::

Klarifikasi tentang postingan saya di group AKA sabtu lalu (17/03/2012). Sebuah postingan singkat, dasar, dan ternyata cukup mengundang kontroversi.

Asal muasal terbesitnya penulisan postingan mengenai status AKA sebagai “PTN, PTK, atau bukan kedua-duanya”  berawal dari sampling sederhana kepada beberapa mahasiswa (meskipun tidak representative). Ketika  saya tanyai tentang status AKA, ternyata beberapa masih menjawab ragu. Maka dari itu, saya ingin tahu apakah semua (terutama) mahasiswa AKA dengan yakin telah mengetahui status AKA sebagai PTN. Responden pertama tidak mempedulikan status AKA, hanya saja menekankan bahwa dia bangga kuliah di AKA, sama seperti bangganya saya kuliah di AKA. Responden kedua memberi pencerahan dan dengan jelas melalui pengalamannya pada saat mempromosikan AKA, menyatakan bahwa status AKA adalah PTN. Namun, saya menyayangkan responden selanjutnya yang menanggapi postingan saya sambil menyudutkan dan “menjatuhkan” diri saya –sampai menulis kata-kata yang kurang intelek-. Dengan bangganya bak seorang jenius nomor satu yang sedang menasehati sambil melecehkan, dan dengan pikiran pendek langsung saja menghantam saya dengan berbagai pernyataan yang sama sekali tidak mengenakkan. Sangat-sangat disayangkan memang bahwasannya cara beliau memberikan komentar jauh dari etika.

Dari peristiwa itu, saya jadi teringat akan jati diri bangsa ini. Bangsa yang tadinya santun dan ramah lembut tiba-tiba saja pada era kekinian menunjukkan hal yang sangat jauh berbeda, brutal dan pikir pendek tanpa etika. Saya pun berpikir apa yang telah ‘meracuni’ pikiran-pikiran anak negeri ini sehingga seolah telah hilang jati diri luhur bangsa ini. Bangsa yang dikenal santun, menyayangi, mengasihi, menerima perbedaan pendapat dan senang mencerna hal dengan lapang dada. Ini mungkin disebabkan dari ‘peninggalan’ kolonial yang terwaris, dan –kacaunya- masih dipertahankan sebagai budaya. Atau mungkin dari budaya asing yang diadopsi tanpa seleksi terlebih dahulu.

“Kita harus selektif dalam menanggapi budaya luar. Kita semua tahu itu, namun hanya sedikit yang melaksanakan.”

Saya menekankan pada etika, kawan-kawan. Meskipun kalau sekalian anda bilang postingan yang saya utarakan tidak berbobot atau apalah namanya, tidak bisakah itu ditanggapi dengan baik-baik? Klarifikasi terlebih dahulu? Haruskah dengan caci maki? –malahan menuduh saya punya maksud tertentu- Toh juga postingan tersebut tidak menjudge anda sekalian. Sekali lagi saya tekankan, itu hanya bermaksud ingin mengetahui apakah mahasiswa tahu hal dasar tentang perguruan tinggi tempat ia menimba ilmu. Itu saja.

Mari berkaca, tengoklah ketika anda mengikuti suatu seminar hasil Praktek Kerja dimana dosen penguji kebanyakan menanyakan pertanyaan-pertanyaan dasar, apakah anda sebagai peserta seminar langsung saja menilai bahwa  dosen tersebut dangkal pikirannya karena pertanyaan-pertanyaan dasar yang ia sampaikan. Tidak wahai kawanku, sekali-kali tidak, maksud dan tujuan dosen tersebut hanya ingin memastikan apakah presenter (penyaji) seminar mengetahui hal-hal dasar dengan benar dan jelas menurut apa yang ia sampaikan kepada peserta seminar.

Analogi dari contoh di atas, sekiranya itulah maksud dari postingan saya. Kembali lagi kepada adanya responden yang membuat ‘panas’ suasana, hanya ingin mengingatkan, mari kita bangun diskusi sehat. Jangan sampai, sekali lagi, -entah karena usia dan pengalaman yang lebih tua, jabatan, atau apapun itu- kita merasa paling benar sendiri –saya benar dan anda pasti salah-. Salah besar kawanku, seandainya kita berfikir seperti itu mungkin ada biji kacang di kepala yang harus segera dikeluarkan. Dan mungkin, ada yang tidak beres di kepala kita.

Belajar berfikir terbuka

Selalu ditekankan dalam suatu training, “pikiran bagaikan parasut, jika tidak dibuka tidak akan berguna”. Juga belajar dari dunia barat, betapa mereka terbuka pikirannya dengan mau menerima pendapat-pendapat luar meskipun bertentangan dengan pendapat mereka sendiri. Baru setelah menerima input (baca: pendapat-pendapat luar) yang banyak, mereka seleksi, pikir matang-matang, dan kemudian baru memutuskan.

Lain halnya dengan yang terjadi –mungkin dan semoga tidak- pada kebanyakan masyarakat ini. Baik orang awam maupun (yang dikatakan) intelektual, sikap mau menerima pendapat dari orang yang bertentangan pendapatnya, ditolak mentah-mentah. Saklek minta ampun, bahkan tidak menghargai sampai mencerca bukan hanya pendapatnya, namun juga orangnya. Sangat disayangkan sekali. Sekali lagi sangat disayangkan. Menganggap diri benar selalu dan menganggap orang lain selalu salah adalah tanda kesombongan akbar (kesombongan yang besar). Bapak Mario teguh pernah berkata dalam Golden Ways-nya, “Anda tidak mungkin selamanya benar, seperti orang lain tidak mungkin selamanya salah”. Agaknya kita harus telaah secara mendalam kata-kata Pak Mario Teguh itu.

“Seandainya kita temukan orang yang melenceng pemikirannya, maka yang perlu diluruskan adalah pemikirannya dan tidak perlu membenci orangnya. Ingat: Anda tidak mungkin selamanya dalam kebenaran sebagaiman orang lain tidak mungkin selamanya daam kesalahan”

sikap tidak mau menerima pendapat orang lain tidak dapat dibenarkan dalam alasan apapun. Namun akan menjadi suatu hal yang lebih tercela jika hal itu disertai tindakan brutal dan premanisme membabi buta. Kalah mulut, langsung hajar (asal jangan sampai hajar dari belakang, BANCI namanya). Melihat kondisi tersebut, semakin lunturnya etika dan  intelektualitas jelas menambah prihatin  negeri ini –apalagi jika dilakukan seorang kaum terpelajar-. Tindakan brutal-premanisme di kalangan kaum terdidik era ini memang harus segera diberantas sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai bersemayam lagi di tubuh kaum terdidik karena pada fitrahnya, sangat tidak pantas tindakan brutal-premanisme membabi buta melekat dalam diri kaum terdidik.

Belajar dari sejarah islam, ketika Amirul mu’minin Sayyidina Umar Ibn Khattab sedang melakukan ronda malam, diduga olehnya ada rakyatnya yang sedang minum minuman keras. Kemudian Umar pun mengintip mereka dari luar rumah dan langsung menuju TKP. Mengetahui hal itu, orang-orang yang sedang minum minuman keras tadi berkata pada Umar, “wahai amirul mu’minin, kami sadari bahwa kami melakukan satu dosa yaitu minum minuman keras, namun engkau telah melakukan tiga dosa”. Mendengar hal itu, amirul mu’minin tidak langsung menghajar, memukul, ataupun mengeluarkan pedangnya. Dengan serius beliau mendengarkan kelanjutan dari percakapan umatnya. “tiga dosa yang kau lakukan adalah mengintip rumah orang lain, langsung masuk rumah orang lain sebelum diijinkan, dan tidak mengucapkan salam padahal mengucapkan salam adalah wajib bagi sesama muslim.” Dengan sikap yang bijaksana, Umar pun menyadari kesalahannya dan malah berterima kasih telah diingatkan disamping beliau juga menghukum orang-orang tersebut.

Nah, kawanku, begitu mulianya sikap yang telah ditunjukkan Umar. Beliau tidak memandang perkataan dari orangnya,  namun lebih kepada apa yang oleh lisannya diucapkan.

Sikap menghargai pendapat memang selayaknya dan harus dijadikan suatu budaya moral-intelektual terutama dikalangan kaum terpelajar. Dengan tidak selalu menganggap diri sendiri benar, dengan menghindari caci maki dan sumpah serapah, dengan membiasakan diri saling mengingatkan dalam hikmah kebijaksanaan, mari selalu perbaiki diri, dan buang jauh pendapat bahwa diri pribadi selalu benar dan orang lain salah. Tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan. Mungkin dengan legowo menerima pendapat yang benar dari orang lain, itu adalah satu jalan menuju kedewasaan. Dan ingat selalu, iblis diusir dari surga karena sikap sombongnya. Jangan sampai kita sombong, jangan sampai kita sama seperti iblis.

Untuk bangsa yang bisa saling menghargai

Untuk bangsa yang mau dikoreksi dan senantiasa selalu memperbaiki diri

Hidup Mahasiswa!!!

Arynazzakka

“suarakan kebenaran sampai tidak ada lagi kedzaliman di negeri ini”

BELAJAR itu kita mulai dari buaian ibu sampai ke liang lahat. Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan kita untuk menganggap diri paling hebat.