Paradox alokasi APBD untuk kongres HMI
Kongres HMI ke 29 yang menggunakan anggaran pemda Riau sebesar 3 Milyar mendapat kecaman dari berbagai pihak. Alasan-alasan dikemukakan baik atas dalih tidak mampunya mahasiswa dalam mempertanggungjawabkan dana yang besar itu, adanya isu penggelapan dana, bahkan sampai pada tidak etisnya penggunaan dana untuk kongres tersebut yang nominalnya jauh di atas alokasi anggaran untuk menghadapi “bencana nasional” kabut asap beberapa waktu yang lalu.
Alokasi APBD untuk kongres HMI memang paradox, sebuah prestasi sekaligus ironi. Disebut prestasi karena untuk menggoalkan alokasi dana untuk kongres yang hasilnya tidak dapat dinikmati langsung, angka “dana rakyat” 3 Milyar terbilang fantastis. Apalagi ditambah fakta bahwa tidak semua organ pergerakan kemahasiswaan memiliki kompetensi untuk “mengakses dana” seperti itu. Di lain pihak, disebut ironi karena justru “kompetensi mengakses dana” tersebut, atau yang lebih elegan disebut dengan “advokasi anggaran” justru senyap dalam permasalahan-permasalahan nyata yang sedang dihadapi oleh masyarakat, sebagai contoh kabut asap, kekeringan lahan pertanian, perang terhadap rentenir dengan melakukan pendampingan usaha bersama ahli, ataupun kolaborasi dengan para pakar atau peneliti yang hasil penelitiannya sebetulnya sangat bermanfaat dan penting untuk masyarakat namun terganjal birokrasi ataupun kurangnya dukungan dari negara (mobil listrik sebagai salah satu contohnya).
Kebekuan wacana dan aksi pergerakan
Saya yakin, tidak sedikit yang mendukung pernyataan saya bahwa pergerakan mahasiswa di Indonesia beberapa tahun terakhir sampai saat ini mengalami kebekuan wacana dan aksi pergerakan. Kebekuan wacana dan aksi pergerakan ini dapat dilihat dari tidak adanya SATU pun tokoh pergerakan mahasiswa yang muncul dengan membawa solusi-solusi dan ide-ide untuk perbaikan bangsa. Dua tahun terakhir saya coba ketikkan di Google keyword “tokoh muda Indonsia”, ternyata yang muncul adalah nama Anies Baswedan, atau Budiman Sudjatmiko, dan nama-nama yang justru dianggap “senior”. Lebih parah lagi ketika diketikkan keyword “tokoh mahasiswa”, yang muncul lagi-lagi justru tokoh masa lalu, “Soe Hok Gie”. Tes kecil tersebut memang tidak representative, namun dapat dianggap tes kecil yang menunjukkan bahwa pergerakan mahasiswa masih mengalami kebekuan dan “linglung”.
Membicarakan pergerakan mahasiswa, nama-nama besar organisasi di kalangan aktivisnya pasti sudah saling mengenal, baik organisasi intrakampus BEM maupun nama besar organisasi ekstrakampus HMI, GMNI, KAMMI, PMKRI, GMKI, dan lain-lain. Dalam kondisi sekarang, memang pada faktanya organisasi-organisasi besar tersebut tidak “diam”. Ada yang masih berorasi di jalan sebagai parlemen jalanan. Ada juga yang berkeliaran dan membangun relasi dengan para birokrat, politisi, atau dengan LSM lainnya. Namun sekali lagi, nyaringnya bunyi-bunyian di jalan, ataupun lekatnya jalan-jalan bersama para birokrat dan politisi tersebut, tidak membuat aktivis dari organisasi-organisasi besar tersebut melakukan sesuatu yang berpengaruh bagi masyarakat, lebih-lebih berpengaruh pada kebijakan negara.
Hal ini sungguh berbeda dengan “perjuangan nyata” para pendahulunya. Sebagai contoh saya sebutkan Bp Alm Koesnadi Hardjosoemantri. Ketika beliau aktif dalam Dewan Mahasiswa 1955, melihat kondisi daerah-daerah masih banyak tertinggal dalam hal pendidikan, maka beliau bersama rekan-rekannya mengusulkan kepada pemerintah waktu itu untuk menyebar mahasiswa tingkat menengah atau akhir untuk pergi dan mengajar di daerah-daerah sebagai wujud bakti Tri Dharma Perguruan Tinggi juga pengabdian langsung untuk masyarakat yang telah membantunya sehingga dapat mengenyam pendidikan tinggi. Ide cemerlang tersebut lantas dijadikan program nasional untuk perguruan tinggi yang kini dikenal dengan nama Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program nasional ini tentunya menggunakan anggaran nasional. Dalam tindakan seperti inilah (meski yang dilakukan oleh alm Prof Koesnadi Hardjosoemantri secara tidak langsung), “advokasi anggaran” oleh para kaum pergerakan menjadi penting, dan membela kepentingan rakyat.
Advokasi anggaran sebagai masa depan pergerakan
Perihal advokasi anggaran, buku dan pedoman yang ditulis sudah sangat banyak. Baik advokasi anggaran tingkat daerah, nasional, bahkan sampai pada desa. Para kaum pergerakan pun sudah banyak yang mempraktikan, memberikan teladan, dan tulus dalam membela kepentingan rakyat. Meski sayangnya, kaum pergerakan yang saya maksud terakhir adalah para aktivis LSM.
Adapun, pergerakan mahasiswa masih sedikit yang memahami lebih-lebih menjalankan tipe gerakan advokasi anggaran. Diantara alasan-alasan yang menyelimuti antara lain tuduhan-tuduhan masuknya pergerakan mahasiswa dalam ranah politik, indikasi pergerakan mahasiswa yang haus akan uang, main proyek, dan lain sebagainya.
Gerakan advokasi anggaran disebut-sebut adalah tawaran medan baru yang tak pernah dijumpai pada masa lalu, sebut saja Soe Hok Gie, Cosmas Batubara, Akbar Tandjung, Hariman Siregar, Rizal Ramli, Anies Baswedan, Budiman Sudjatmiko, Anas Urbaningrum, hingga Anis Matta sekalipun. Gerakan advokasi anggaran adalah identias baru, demikian dalam pandangan Alamsyah Saragih (mantan KIP).
Penutup untuk KAMMI
Indonesia sebagai negara terbesar ASEAN dan negara yang paling diperhitungkan dunia sedang mengalami perkembangan kelas menengah yang signifikan, juga ditandai dengan banyaknya para professional yang kompeten di bidangnya, pembangunan infrastruktur yang luar biasa, geliat peneliti yang tak kalah semangatnya, masyarakat yang semakin melek teknologi dan informasi, juga diiringi oleh jutaan informasi yang saling bertentangan, kehebohan politik di pemerintahan, masih kurangnya support untuk riset, ketimpangan social ekonomi yang masih tinggi, disertai dengan “kebekuan wacana dan aksi pergerakan mahasiswa” karena dinilai tidak membumi, dan tidak memiliki solusi-solusi real dalam mengatasi persoalan.
Seluruh program pemerintah baik pusat ataupun daerah selalu identik dengan anggaran yang memiliki siklus tetap meski dengan rangkaian proses yang panjang dan melelahkan untuk diikuti. Semakin terprogramnya pemerintah dalam melaksanakan program berdasarkan perencanaan yang sistematis harus diiringi dengan kemampuan aktivis pergerakan untuk mengawasi secara sistematis pula, serta memberikan solusi yang tepat guna bagi permasalahan daerah maupun nasional sehingga basis DATA yang dimiliki menjadi dasar kuat untuk sebuah perjuangan yang mengatasnamakan rakyat.
Cara-cara bergerak bukan lagi hanya dari sumbangan donatur, aksi galang dana di jalan, dana kepemudaan pemda.
Mahasiswa-mahasiswa yang tidak pernah tergabung dalam pergerakan mahasiswa (sebagai individu) kini sudah banyak yang mampu menciptakan solusi-solusi real di masyarakat dengan kemampuan cipta intelektual berupa teknologi yang ekonomis, ataupun kemampuan menggerakkan masyarakat untuk bangkit bersama mengatasi masalah yang dialami masyarakat itu sendiri. Jangan sampai justru para aktivis pergerakan terjebak dengan gerakan “konvensional” membuatnya kalah saing dalam memberikan solusi dari individu-individu seperti tersebut di atas.
Buku “Ijtihad membangun Basis Gerakan” sejak 2010 telah menawarkan solusi sedemikian rupa sebagai bentuk pergerakan, lantas kenapa masih terombang-ambing?
Jakarta, 22 November 2015
ZK
KP PD KAMMI Bogor 2013-2015