Petani Industri

Sereh Wangi

Tahun lalu, ada sekelompok orang dari Jakarta datang, menawarkan sebuah program pembibitan tanaman, yang hasilnya sangat menggiurkan” Tutur pak Yoto mengawali bahasan panjang, dalam bahasa Jawa kromo. “Masyarakatpun tertarik, hingga banyak sekali yang menanam, puluhan hektar untuk tanaman sereh dengan harapan mengangkat derajat hidup masyarakat. Hingga setengah tahun berselang, saat ini, tanaman yang berada di puluhan hektar itu dibiarkan, mangkrak, karena tidak ada pasar yang menampung”. Kejadian ini rupanya bukanlah yang pertama kali.

Sebenernya saya sudah tidak terlalu percaya dengan petani. Mereka nakal dan saya dikerjai beberapa kali” Sambung mas Eko menimpali pak Yoto dalam agenda njagong/ diskusi itu. “Kita kasih bibit ke petani, kita beli hasilnya dengan harga yang lebih baik dari hasil palawija atau standar penghasilan mereka, namun seringkali tergiur dengan makelar besar yang tiba2 datang membeli hasil tani dengan harga sangat tinggi dengan maksud memutus kemitraan dan memutus suplay bahan baku ke kita. Satu bulan dua bulan makelar besar itu tetap beli dari petani yang sudah kita bina, tapi kemudian pergi begitu saja. Akhirnya, hasil pertanian petani tersebut tidak ada yang mau beli lagi dengan harga sebelumnya, sementara kepercayaan kita terhadap petani rusak. Putuslah kemitraan karena petani nakal tadi. Kita rugi, tetap semua kelompok tani tadi jauh lebih menderita”. Dan kejadian itupun bukanlah yang pertama kali.

suasana njagong

*

Bisa tergambarkan, ini adalah pertemuan dua kelompok yang pernah dikecewakan. Pak Yoto ini mewakili kelompok petani setempat. Mas Eko ini mewakili kelompok industri penyulingan dan distribusi hasil pengolahan.  Kedua dari masing2 kelompok ini beberapa kali dikecewakan. Oleh oranglain yang telah menjanjikan harapan. Tidak adil memang, ketika harapan dibayar dengan kepercayaan, justru kepercayaan itulah yang harus kalah. Tapi beginilah hidup, tidak pernah selalu adil. Sikap paling bijaksana ya paling sebisa mungkin mengambil pelajaran (kadang bener juga ungkapan: jangan terlalu mudah percaya kepada orang). Tapi juga tidak baik membiarkan kekecewaan berlarut, kan?

Aku masih mencerna realita hidup seperti ini.  

**

Petani.

Cukup mengakrabi petani (padi/palawija), namun hampir tidak pernah mau menjadi petani. Itu pandangan masa kecilku dulu, dengan sangat sedikitnya pengetahuan tentang pertanian. Lingkungan masa kecil dulu mayoritas masyarakatnya merupakan petani. Yang harus berangkat pagi2 sekali ke sawah, panas2an siangnya dan pulang sore. Menjelang magrib. Demi sebuah penghidupan. Gitu amat ya hidup.

Dari waktu ke waktu, jarang sekali hidup seorang petani itu berkelimpahan. Padahal mereka yang menyediakan makanan untuk orang-orang kota. Jadi ingat kata Pramoedya, Pengarang besar Indonesia itu (yang filmnya Bumi Manusia tayang di bioskop bulan lalu), “Kami memang orang miskin, di mata orang kota kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami”.

Kalau seorang petani tidak memiliki tanah yang luas (sebagai tuan tanah) atau memilki sumber penghasilan lain misal jadi ASN atau memiliki toko atau ternak dan juga pendidikan yang baik, hampir dipastikan: hidupnya seperti mati segan hidup tak mau. Sing penting iso mangan (yang penting bisa bertahan hidup). Miris kan?

Sementara itu, di zaman industri yang sudah serba didukung dengan teknologi informasi itu, sebagian besar cara pertanian juga jauh tertinggal. Sangat sedikit sekali transfer teknologi, padahal, petani zaman sekarang itu juga bersaing dengan para petani dari seluruh dunia. Tanpa transfer teknologi, petani konvensional akan kalah bersaing dengan petani modern yang memanfaatkan teknologi. Imbasnya, produk hasil petani konvensional jauh lebih mahal dari petani modern, sekitar dua kali lipat atau lebih. Peran pemerintah pun sekedar memberi subsidi dengan membantu harga beli ke petani terjaga “layak” (harga beli ke petani sekitar 9 ribuan/kg), artinya minimal ada untung sedikit dari biaya produksi yang telah dikeluarkan, dikarenakan jika mengikuti harga beras impor akan jauh kalah (harga beras impor 4-5ribu/kg).

Serba salah kehidupan petani: menanam seperti biasanya, hasilnya gitu-gitu aja. Mau mencoba hal baru, berisiko, sekalinya dapet mitra baru, justru malah kena tipu.

***

Titik temu

Orang-orang yang saling membutuhkan, dan dipertemukan, sangat jarang merupakan sebuah kecelakaan. Bisa jadi itu sebuah kesempatan, yang hasilnya nanti sangat tergantung, apakah akan diambil atau begitu saja dilewatkan.

“kesempatan itu datang,

Dan seringkali kau abaikan,

Hingga hilang begitu saja,

Coba pertimbangkan,

Bisajadi itu adalah jawaban,

Dari sebuah usaha,

Yang akhirnya menjadi kenyataan yang melampaui harapan”.

****

Industri

Industri itu luas sekali. Tapi pokok intinya: mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi. Di antaranya adalah prosesnya, yang melibatkan teknologi, biaya, dan sumberdaya manusia. Bahan jadi hampir selalu (dan seharusnya) lebih mahal dari bahan mentah, karena adanya nilai tambah.

Semua negara maju adalah negara industri, atau sebutan lainnya negara manufaktur, yang bisa mengolah bahan mentah, menjadi sebuah produk jadi. Dengan teknologi. Teknologi yang dimaksud disinipun tidak selalu “harus” teknologi “canggih”, yang penting: memberikan nilai tambah.

Atsiri: yang membuat VOC (Kumpeni) datang kemari

“Indonesia itu punya modal kuat CPO di level dunia. Tapi, CPO yang dimaksud ini bukan Crude Palm Oil yang dari sawit itu, dan berjuta hektar itu, melainkan Crude Patchuoli Oil”, pernyataan ini dalam acara njagong inipun ngena ke semua peserta. 

Atsiri, adalah potensi. Bagaimana tidak, kala itu, VOC pun bersedia menukar Manhattan di US (yang kini jadi jantung ekonomi US itu dengan pulau Run di Banda Neira yang dimiliki inggris kala itu (1677) yang merupakan pusat penghasil pala berkualitas dunia.

Peta distribusi dan wilayah operasi VOC (Business Insider, 2013)

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang merupakan perusahaan terbesar dalam sejarah dan juga merupakan perusahaan pertama yang menerbitkan saham (Business Insider, 2013) itupun memainkan pasar monopoli atsiri. Selama industri farmasi, kosmetika, makanan minuman, parfum , pewangi dan aroma ada, atsiri sangatlah dibutuhkan. Nilai market global pada 2015 saja mencapai 24.1 miliar dollar. Dan nilai ini akan terus naik.

*****

Menghubungkan titik

Petani butuh support pelaku industri. Pelaku industripun tidak bisa lepas sepenuhnya dari petani. Dalam hubungan ini juga sangat diperlukan kesinambungan sumberdaya. Konsep ABG (Akademy-Bussines-Government) memang telah lama didengung-dengungkan. Praktiknya, perlu terus dilaksanakan agar benar-benar tercapai.

Data BPS (Feb 2019) menyebutkan mayoritas pekerja Indonesia merupakan lulusan SD ke bawah dari total 129,4 juta pekerja. SD ke bawah 41%, SMP 18%, SMA 18%, SMK 11%, Universitas 10%, dan Diploma I/II/III paling sedikit: 3%. Sangat disayangkan memang dengan adanya supply tenaga kerja tiap tahun yang mencapai 2juta (belum lagi saat bonus demografi Indonesia tiba nanti), peluang yang besar di dunia industri atsiri tidak menjadi konsen utama dalam memetakan sumberdaya manusia dan target besar kemajuan industri atsiri. Tapi memang, kita tidak dapat menggantungkan kemajuan industri dan pemetaan sumberdaya manusia hanya kepada pemerintah. Sebagian besar orang pemerintah bukanlah orang bisnis yang benar2 mengerti cara mengelola bisnis dan mengelola masalah2 di lapangan.

Pelaku industri tetap harus memiliki inisiatif tinggi mengambil peluang ini, lebih-lebih meningkatkan nilai tambah atsiri ini. Dimulai dengan kerjasama dengan mitra terdekat, petani, tim, sehingga sampai tahap memilki pasar kuat di dalam negri yang akhirnya mampu ekspansi ke luar negeri. Ini baru dimulai.

Njagong yang dimulai siang hari selepas dhuzur pun akhirnya selesai tepat saat adzan ashar berkumandang, tentunya setelah mencapai beberapa kesepakatan untuk kemitraan. Pamit dan salam.

Zakka.